Mentari

Mentari

Namanya Mentari.
Saat itu adalah hari pendaftaran ulang SMA yang berhasil saya masuki. Suasananya sangat tidak kondusif, hari pendaftaran ulang disibukkan dengan ditempelnya kertas berisi daftar penugasan hari pertama ospek dan daftar nama gugus-gugus yang membagi kelompok ospek. Semuanya heboh, saya pun setelah mendaftar ulang mencatat apa saja yang harus dipersiapkan. Semua siswa memakai seragam hitam putih pada saat itu, cewek-cewek yang saya lewati semua tampil keren, rambut direbonding plus bando, sepatu flat, gantungan HP yang besar dan mencolok, tas keren. Wow, cowoknya pun tidak kalah, jam tangan bermerk, tali pinggang bermerk, HP Nokia 6600 yang selalu dipegang-pegang. Weleh, saat itu saja saya masih belom dibelikan HP. Saya pusing dikelilingi orang-orang itu. Saya memutuskan duduk saja di lobby depan, tepatnya di semenan rendah yang mengelilingi lobby depan yang biasa jadi tempat nongkrong. Sebelah saya duduk siswa cewek, rambut direbonding juga, selalu memegang HP juga, berat badan kira-kira 115 kg, dia sendiri saja, saya pun mengampirinya ”halo, siswa baru juga kan? namanya siapa?” singkat cerita kami berkenalan.
Masa ospek pun berlangsung, kami berbeda kelompok, masa ospek selesai. Saat pembagian kelas, saya belum tahu siapa saja yang akan menjadi teman sekelas saya. Pertama memasuki kelas pun saya menyapukan pandangan, kebanyakan sudah duduk berdua, tiba-tiba ada sosok yang sudah saya kenal ada dibaris kedua didepan meja guru, ”mentari! Ternyata kita sekelas!” saya pun langsung duduk disebelahnya. Selama menjadi teman sekelas kami baik-baik saja, Mentari sangat pendiam, namun suka bercerita pada saya, kami saling menunjukkan sms dari gebetan masing-masing, kami ke kantin bersama, dia sering meledek saya hitam, saya meledek dia gendut, saya suka mencubit dia, dia sering menjambak saya, dia selalu tau siapa yang saya suka saat itu. Mentari ternyata dari keluarga cukup berada, dia sering mengajak saya untuk jalan-jalan, saya juga sering ditraktir, ahahaaha. Mentari anak seorang jaksa, dia sangat polos, kadang meminta contekan, tidak tertarik akan ekskul manapun, namun selalu mendukung saya untuk ikut ekskul manapun. Sampai suatu hari dia tidak masuk sekolah, saya pun duduk sendirian, esoknya pun begitu, sampai hampir seminggu. Saya mulai khawatir, saya menghubungi Mentari, sms saya tidak dibalas, telepon saya tidak diangkat. Dua minggu berlalu, dia masuk sekolah, saya menanyakan kemana saja dia, katanya dia sakit, tapi sudah sembuh. Tapi hanya bertahan beberapa hari, Mentari tidak masuk lagi, kali ini lebih lama, sampai lebih dari dua minggu, saya menanyakan Mentari pada sepupunya yang kebetulan juga di SMA saya, kata dia, Mentari sedang ada masalah, namun tidak boleh diberitahu siapapun. Saya makin cemas, sudah sebulan Mentari tidak masuk, selama itu saya berpindah tempat duduk ke tempat-tempat yang kadang-kadang juga teman sebelahnya tidak masuk. Saya terus berusaha menghubunginya, akhirnya berhasil, Mentari mengangkat telepon, dia bercerita bahwa ayahnya sakit, dia harus menjaga ayahnya. Sementara itu di sekolah, teman-teman berkelakar bahwa Mentari sudah menikah dan harus putus sekolah. Saya menceritakan pada guru BP sekolah saya tentang ayah Mentari, kemudian kami bersama-sama menjenguk ayahnya di rumah sakit, tanpa memberitahu Mentari. Akhirnya setelah lebih satu bulan, kami bertemu. Di rumah sakit, terbaring ayah Mentari yang tidak sadarkan diri. Kami pun berbincang-bincang, saya meminta maaf atas ketidakpedulian saya, saya menyarankan dia untuk kembali sekolah. Beberapa hari kemudian Mentari masuk sekolah, namun, juga hanya bertahan dua hari, setelah itu dia tidak masuk sekolah sampai ujian kenaikan kelas berlangsung. Waktu kembali berjalan, tiba-tiba saya mendapat sms mengejutkan darinya, ayah Mentari meninggal. Beberapa hari sebelumnya saya juga dikejutkan dengan memegang raport Mentari yang menyatakan dia tidak naik kelas. Saya sedih, mengapa Mentari tidak bisa tetap sekolah saja, apa yang terjadi, saya juga tidak berhasil membantu Mentari untuk pada saat-saat ayahnya sakit. Makin sedih saat mengetahui teman-teman sekolah juga tidak ada yang menunjukan niat untuk melayat, yah mungkin Mentari terlalu mudah mereka lupakan, namun dia teman saya. Saya pun melayat ke rumahnya, akhirnya bersama sahabat saya yang lain. Disana saya melihat wajah Mentari yang amat dirundung duka, saya berjanji dalam hati tidak akan mengatakan hasil raportnya. Diluar banyak yang membicarakan perihal kepergian ayah Mentari, mulai dari indikasi ”perbuatan” orang, sampai cerita-cerita lain seputar kaitan dengan profesi ayah Mentari sebagai jaksa.
Hari itu adalah hari terakhir aku bertemu Mentari, dia tidak pernah terlihat lagi, nomer HP nya sudah diganti. Dan, dia ternyata memutuskan untuk pindah sekolah. Saya berkali-kali berusaha menanyakan pada sepupunya, namun gagal, kesibukan yang lain juga membuat saya perlahan berhenti mencari Mentari. Suatu siang, saya melewati sekolah SMA lain, saya seperti melihat sosok Mentari. Namun, sampai hari ini, saya belum pernah bertemu lagi dengannya.

0 komentar: