Mentari

0 komentar
Mentari

Namanya Mentari.
Saat itu adalah hari pendaftaran ulang SMA yang berhasil saya masuki. Suasananya sangat tidak kondusif, hari pendaftaran ulang disibukkan dengan ditempelnya kertas berisi daftar penugasan hari pertama ospek dan daftar nama gugus-gugus yang membagi kelompok ospek. Semuanya heboh, saya pun setelah mendaftar ulang mencatat apa saja yang harus dipersiapkan. Semua siswa memakai seragam hitam putih pada saat itu, cewek-cewek yang saya lewati semua tampil keren, rambut direbonding plus bando, sepatu flat, gantungan HP yang besar dan mencolok, tas keren. Wow, cowoknya pun tidak kalah, jam tangan bermerk, tali pinggang bermerk, HP Nokia 6600 yang selalu dipegang-pegang. Weleh, saat itu saja saya masih belom dibelikan HP. Saya pusing dikelilingi orang-orang itu. Saya memutuskan duduk saja di lobby depan, tepatnya di semenan rendah yang mengelilingi lobby depan yang biasa jadi tempat nongkrong. Sebelah saya duduk siswa cewek, rambut direbonding juga, selalu memegang HP juga, berat badan kira-kira 115 kg, dia sendiri saja, saya pun mengampirinya ”halo, siswa baru juga kan? namanya siapa?” singkat cerita kami berkenalan.
Masa ospek pun berlangsung, kami berbeda kelompok, masa ospek selesai. Saat pembagian kelas, saya belum tahu siapa saja yang akan menjadi teman sekelas saya. Pertama memasuki kelas pun saya menyapukan pandangan, kebanyakan sudah duduk berdua, tiba-tiba ada sosok yang sudah saya kenal ada dibaris kedua didepan meja guru, ”mentari! Ternyata kita sekelas!” saya pun langsung duduk disebelahnya. Selama menjadi teman sekelas kami baik-baik saja, Mentari sangat pendiam, namun suka bercerita pada saya, kami saling menunjukkan sms dari gebetan masing-masing, kami ke kantin bersama, dia sering meledek saya hitam, saya meledek dia gendut, saya suka mencubit dia, dia sering menjambak saya, dia selalu tau siapa yang saya suka saat itu. Mentari ternyata dari keluarga cukup berada, dia sering mengajak saya untuk jalan-jalan, saya juga sering ditraktir, ahahaaha. Mentari anak seorang jaksa, dia sangat polos, kadang meminta contekan, tidak tertarik akan ekskul manapun, namun selalu mendukung saya untuk ikut ekskul manapun. Sampai suatu hari dia tidak masuk sekolah, saya pun duduk sendirian, esoknya pun begitu, sampai hampir seminggu. Saya mulai khawatir, saya menghubungi Mentari, sms saya tidak dibalas, telepon saya tidak diangkat. Dua minggu berlalu, dia masuk sekolah, saya menanyakan kemana saja dia, katanya dia sakit, tapi sudah sembuh. Tapi hanya bertahan beberapa hari, Mentari tidak masuk lagi, kali ini lebih lama, sampai lebih dari dua minggu, saya menanyakan Mentari pada sepupunya yang kebetulan juga di SMA saya, kata dia, Mentari sedang ada masalah, namun tidak boleh diberitahu siapapun. Saya makin cemas, sudah sebulan Mentari tidak masuk, selama itu saya berpindah tempat duduk ke tempat-tempat yang kadang-kadang juga teman sebelahnya tidak masuk. Saya terus berusaha menghubunginya, akhirnya berhasil, Mentari mengangkat telepon, dia bercerita bahwa ayahnya sakit, dia harus menjaga ayahnya. Sementara itu di sekolah, teman-teman berkelakar bahwa Mentari sudah menikah dan harus putus sekolah. Saya menceritakan pada guru BP sekolah saya tentang ayah Mentari, kemudian kami bersama-sama menjenguk ayahnya di rumah sakit, tanpa memberitahu Mentari. Akhirnya setelah lebih satu bulan, kami bertemu. Di rumah sakit, terbaring ayah Mentari yang tidak sadarkan diri. Kami pun berbincang-bincang, saya meminta maaf atas ketidakpedulian saya, saya menyarankan dia untuk kembali sekolah. Beberapa hari kemudian Mentari masuk sekolah, namun, juga hanya bertahan dua hari, setelah itu dia tidak masuk sekolah sampai ujian kenaikan kelas berlangsung. Waktu kembali berjalan, tiba-tiba saya mendapat sms mengejutkan darinya, ayah Mentari meninggal. Beberapa hari sebelumnya saya juga dikejutkan dengan memegang raport Mentari yang menyatakan dia tidak naik kelas. Saya sedih, mengapa Mentari tidak bisa tetap sekolah saja, apa yang terjadi, saya juga tidak berhasil membantu Mentari untuk pada saat-saat ayahnya sakit. Makin sedih saat mengetahui teman-teman sekolah juga tidak ada yang menunjukan niat untuk melayat, yah mungkin Mentari terlalu mudah mereka lupakan, namun dia teman saya. Saya pun melayat ke rumahnya, akhirnya bersama sahabat saya yang lain. Disana saya melihat wajah Mentari yang amat dirundung duka, saya berjanji dalam hati tidak akan mengatakan hasil raportnya. Diluar banyak yang membicarakan perihal kepergian ayah Mentari, mulai dari indikasi ”perbuatan” orang, sampai cerita-cerita lain seputar kaitan dengan profesi ayah Mentari sebagai jaksa.
Hari itu adalah hari terakhir aku bertemu Mentari, dia tidak pernah terlihat lagi, nomer HP nya sudah diganti. Dan, dia ternyata memutuskan untuk pindah sekolah. Saya berkali-kali berusaha menanyakan pada sepupunya, namun gagal, kesibukan yang lain juga membuat saya perlahan berhenti mencari Mentari. Suatu siang, saya melewati sekolah SMA lain, saya seperti melihat sosok Mentari. Namun, sampai hari ini, saya belum pernah bertemu lagi dengannya.

sahabat nanggung

0 komentar
Well,
Judul diatas jangan diartiin sebagai seorang yang nanggung-nanggung jadi sahabat ya :p, tapi artinya adalah, hmmm, saya sering berada dalam situasi harus dipisahkan oleh orang yang saya kira akan menjadi sahabat saya, huaaa jadi sedih XD. Nih lengkapnya:
Oke, sejak TK ternyata, tanpa saya sadari, saya tidak terlalu sulit beradaptasi jika bertemu orang baru, di TK saya dulu, teman-teman saya kebanyakan berkulit putih dan bermata sipit a.k.a keturunan tionghoa, selebihnya adalah orang-orang yang medok dan bernama sri, ningsih, arum, dll yang a.k.a orang jawa. Hal ini berlanjut sampai saya SD, saya sendirilah dikelas tersebut yang punya marga, sinaga pula. Jadi, ketika teman-teman saya bercerita tentang mbah kakung dan eyang uti maupun engkong dan oma mereka yang kebanyakan di Salatiga, Purwokerto, Magelang, Solo, dll, saya bercerita ke mereka kalo opung saya tinggal di Padang Sidempuan dan di Medan, ya, mereka pun cuma bisa menanggapi "ohh". Namun, dengan latar belakang pertemanan seperti itu, tidak ada masalah yang terlalu sulit untuk saya hadapi saat itu, saya berteman sangat baik dengan mereka, kami saling bermain dan menjaga serta melewatkan har-hari penuh warna __". But guess what? , tidak ada satupun dari teman-teman tersebut yang menjadi teman saya layaknya kompor dan minyak tanah, orang yang selalu bersama saya kemanapun, ke kantin, ke perpustakaan, ke alun-alun. Kemanapun, apapun, selalu saya lakukan bersama siapapun, saya menjadi milik semua orang saat itu, teman laki-laki, perempuan, semuanya sama, saya bermain ke rumah tidak hanya si A, si B, si C, ya, semuanya sama. Hal ini sangat nyaman, sampai akhirnya ada teman baru, ya baru! ha! Teman yang bisa menarik saya untuk berbagi waktu lebih dengannya (sounds weird huh? lol) . Ya, akhirnya ada! dia yang nanti akan saya khusus buatkan cerita di blog ini, dia yang berhasil menjadi teman favorit saya, yang saya yakini akan menjadi sahabat saya, dan akhirnya selalu bersama saya saat ke alun-alun, ke perpustakaan, ke kolam renang, ke gereja. Saat masa itu, saya sungguh senang, sangat menyenangkan punya teman baik. Namun ternyata, kesenangan itu tidak berlangsung lama. Kami harus berpisah, saya harus mencari lagi orang lain yang bisa saya percaya untuk menjadi sahabat baik.

Beranjak SMP, saya sudah berada di tempat dimana orang-orang bermarga batak ada dimana-mana, dimana marga-marga yang tidak pernah saya dengar ternyata eksis. Ternyata adaptasi tidak hanya dialami anak Indonesia yang harus sekolah diluar negeri, tidak hanya oleh bapak-bapak yang harus pindah tugas, tapi juga saya alami, anak biasa yang pindah dari pulau jawa ke sumatera, yang padahal merupakan tanah kelahiran orang tua saya. Lagi-lagi persabatan saya dijalani dengan latar belakang yang berbeda, disaat teman-teman saya sudah pernah saling bertemu sejak SD bahkan TK, saya secara total bertemu orang baru. Masa SMP yang merupakan masa labil sehingga kita butuh geng pun saya lewati, sekali lagi saya berteman dengan siapa saja, menjadi milik siapa saja, laki-laki perempuan sama saja, sampai ada orang-orang yang cenderung sudah mulai berkelompok “mengajak” saya untuk gabung, yeah, sedikit mengejutkan, saya tidak terlalu suka sebenarnya, namun akhirnya 3 tahun saya lewati dengan terbiasa bersama 3 orang yang sama.
Masa SMA pun datang, sama seperti waktu SMP, orang-orang sudah saling mengenal, di TK yang sama, SMP yang sama, ya kebetulan teman SMP saya tidak banyak yang masuk di SMA saya. Bulan-bulan pertama saya lewati bersama teman sebangku saya yang sangat polos dan selalu saya kerjain. Sekali lagi saya senang punya teman berbagi, satu orang pun cukup. Namun, menjelang kelas dua dia harus pindah. Saya menjadi sendiri? Tidak juga, saya sudah aktif disuatu ekstra kulikuler saat itu, namun ada rasa sedih mengingat dia adalah teman pertama saya di SMA, dan kami tidak bergabung dalam suatu kegiatan apapun, hanya ”teman sekelas” , tapi kami bisa berteman dekat, saling berbagi cerita. Akhirnya masa-masa SMA kedepannya saya habiskan bersama banyak teman-teman yang menyenangkan, dan tanpa geng, semua saya beri perhatian. Sangat susah untuk memilih nama kontak di HP untuk diberi forward sms lucu, semua rasanya ingin saya kirimi, disaat teman-teman yang lain punya group contact ”my besties” ”8 rangers” dll.
Masa kuliah, ahahaa, makin rumit ceritanya, namun, seperti paragraf paling atas, saya sering dihadapkan pada situasi harus berpisah dengan orang yang saya kira akan jadi sahabat saya, begitu pula disaat kuliah, saat ospek fakultas saya bertemu dengan dia, kami cepat menjadi dekat, namun, lagi-lagi kami harus berpisah, dia memilih melanjutkan studi ditempa lain. Saya menjadi sendiri? Tidak juga, saya punya teman-teman lain yang sangat menyenangkan, namun tetap sedih mengingat mengapa terulang kembali. Ahahhaa

Coba tanyakan saya ”punya temen yang dari TK atau SD sohib banget gak?” saya Cuma bisa jawab ”tidak” . Menyenangkan punya seseorang yang bisa berkata ”walda tuh dari TK emang gitu” ”dewa dari kecil emang nyebelin” ”dari awal masuk SMA kita udah deket”. Yeahh, it is sad. So, keep your friends warm around you, get to know more about them before you have no more time to do that.